Namun sebagian ahli sejarah menyebutkan, pemimpin Daulah Umayyah Andalusia dari Abdurrahman Ad-Dakhil hingga Abdullah bin Muhammad tidak disebut khalifah, tapi amir. Mereka baru menyematkan sebutan khalifah pada Abdurrahman III. Dengan demikian, Hakam II bisa disebut khalifah kedua Daulah Umayyah di Andalusia. Ia memerintah selama 17 tahun. Masa pemerintahannya cukup terpandang. Para ahli sejarah menyebut masa pemerintahannya dengan "zaman emas kesusastraan Arab di Spanyol".
Selain sukses membangun pemerintahan dalam negeri, Hakam II juga berhasil menjalin hubungan baik dengan pihak luar. Ia bisa menjalin hubungan dengan kerajaan Leon dan Navarre yang memang telah terikat perdamaian sebelumnya. Kedua kerajaan itu mengakui keberadaan Daulah Umayyah, dan mereka bersedia membayar pajak.
Bahkan Raja Sancho I dari Leon sempat berada di Cordoba selama dua tahun untuk mengobati tubuhnya yang menderita obesitas. Selama berada di kota itu, ia aman dan diberikan pelayanan yang baik.
Selain berhasil mengamankan wilayahnya, Hakam II juga meneruskan pembangunan perpustakaan Cordoba. Perpustakaan itu dibangun hingga menjadi perpustakaan terbesar di Eropa kala itu. Hakam II memang dikenal cinta buku. Ia sering mencari sendiri buku-buku yang sulit ditemukan.
Bahkan ia juga sering menulis surat untuk para penulis ternama. Ia juga tak segan-segan membayar naskah tulisan itu dengan harga yang mahal. Ia mempekerjakan orang-orang tertentu untuk mengelola perpustakaannya. Ia juga melindungi lembaga-lembaga kesusastraan dan memberikan hadiah bagi para sarjana.
Muhyiddin Al-Khayyath dalam kitabnya, Durus Tarikh Al-Islami, menyebutkan Abul Faraj—pujangga besar Arab kala itu—tengah menyusun kumpulan sajak dan lagu yang diberinama Al-Aghani. Mendengar hal itu, Hakam II segera mengirimkan utusan untuk menemui sang penulis. Naskah pertama karya itu dibayar dengan 1.000 dinar emas! Angka yang begitu besar. Tak heran kalau para ahli sejarah menyebut masa pemerintahannya dengan zaman bagi sastra Arab di Spanyol.
Khalifah Hakam II juga berhasil menghalau tantangan dari Daulah Fathimiyah yang inging merebut wilayah Afrika Barat. Setelah terjadi pertempuran selama empat tahun, di bawah pimpinan Panglima Ghalib, daerah itu bisa direbut kembali.
Pada 979 M, Khalifah Hakam II mengangkat Muhammad bin Abu Amir sebagai wazir, yang sebelumnya menjabat hakim agung. Saat itu, jabatan wazir mengepalai seluruh bagian pemerintahan, namun kekuasaan tertinggi tetap berada tangan khalifah. Kelak sepeninggal Khalifah Hakam II, Muhammad bin Abu Amir memainkan peran yang sangat penting selama 27 tahun. Ia seorang negarawan cakap dan ahli strategi perang.
Penunjukan itu bersamaan dengan adanya tantangan dari pihak utara, Kerajaan Navarre. Beberapa benteng dan perbatasan mulai diserang. Di tengah serangan-serangan itulah Khalifah Hakam II wafat dalam usia 62 tahun. Ia digantikan oleh putranya, Hisyam II yang kala itu masih berusia 10 tahun. Saudaranya, Mughirah bin Abdurrahman III menjabat sebagaiMursyih Al-Amri atau Pemangku Kuasa.
Belum ada tanggapan untuk " "
Post a Comment