Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
Wednesday, 05 May 2010 15:24
{mosimage}Oleh: Dr. Ing. Fahmi Amhar
Kenalkah Anda dengan satu perpustakaan di kota Anda? Pernahkah Anda mengunjunginya?
Apakah Anda merasa betah di dalamnya dan meraup manfaat darinya? Berapa buku yang
pernah Anda baca dari perpustakaan? Berapa orang yang biasanya Anda jumpai di
perpustakaan? Apa yang biasanya mereka kerjakan?
Bagi banyak orang, jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah jelas: geleng-geleng atau
angkat bahu. Perpustakaan yang lazim dikenal barangkali cuma perpustakaan sekolah atau
kampus. Orang ke sana karena ada tugas dari dosen dan harus mencari literatur. Selain itu
karena ingin belajar pada suasana yang nyaman, sambil sekali-sekali membaca koran hari itu.
Jarang orang datang ke perpustakaan, apalagi perpustakaan non kampus, untuk membaca
buku-buku bermutu yang ada di dalamnya. Perpustakaan menjadi tempat yang sepi, agak
berdebu dan “angker”. Hanya peneliti yang memerlukan singgah ke sana. Para penjaganya
juga kesepian, sehingga ada perpustakaan yang buka hanya kalau ada permintaan saja.
Beberapa perpustakaan lalu ganti strategi. Mereka menjaring pembaca remaja dengan
menyediakan lebih banyak bacaan populer, komik, teen-lit, dan multimedia. Perpustakaan
pelan-pelan beralih fungsi menjadi tempat penyewaan komik dan DVD. Namun bertahan
menjadi perpustakaan semacam ini tentu tidak mudah. Dalam waktu singkat, koleksi populer
itu pasti akan termakan zaman. Tidak murah untuk terus mengupdate koleksi itu sesuai
penerbitan terakhir yang jumlahnya makin banyak. Ada yang terpaksa mengambil jalan pintas
dengan membeli buku atau DVD bajakan. Namun inipun tidak juga selalu menutup biaya
operasional. Perpustakaan adalah proyek rugi, cost center, bukan profit-center.
Ini berbeda dengan seribu tahun yang lalu.
Tahun 1000 M, di Bagdad pedagang buku Ibn an Nadim mempublikasikan al-Fihrist (“Katalog
Pengetahuan”). Buku ini terdiri dari 10 Jilid dan memuat judul seluruh buku dalam bahasa Arab
yang terbit hingga saat itu, baik dari ilmu ushuluddin, astronomi, matematika, fisika, kimia, dan
kedokteran. Buku-buku yang masuk dalam katalog itu seperti sudah terjamin mutunya dan
menjadi buruan para pengelola perpustakaan, berikut ahli salinnya, juga para cerdik cendekia
yang tidak ingin ilmunya dikatakan orang “di bawah standar”, hanya karena tidak mengenal
buku yang ada dalam katalog itu. Buku yang saat itu masih ditulis tangan tentu saja sangat
1 / 3
Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
Wednesday, 05 May 2010 15:24
mahal. Untunglah, bagi yang tak mampu membelinya tersedia perpustakaan.
Maka tertariklah mahasiswa dari Timur dan Barat pada perpustakaan-perpustakaan di dunia
Islam. Perpustakaan Universitas Cordoba memiliki koleksi setengah juta buku. Di Kairo ada
beberapa ratus pustakawan yang melayani perpustakaan khilafah dengan koleksi dua juta
buku. Ini dua puluh kali lipat perpustakaan Mesir kuno di Alexandria sebelum dihancurkan oleh
Romawi. Pernahkah Anda menghitung berapa buku yang dapat dimuat dalam rak buku Anda?
Satu rak buku standar yang banyak terdapat di rumah-rumah dapat memuat rata-rata 100
buku. Jadi di perpustakaan Kairo kira-kira terdapat 20.000 rak. Kalau satu rak berikut ruang
untuk orang lewat perlu area 1 meter persegi, maka berarti luas lantai perpustakaan itu kira-kira
dua hektar!
Para pustakawan di masa itu wajib memiliki ilmu yang terkait dengan koleksi yang diurusnya.
Ia bukan hanya seorang yang tahu judul buku, pengarang dan di rak mana letaknya. Namun
seorang pustakawan yang mengurus buku-buku fiqih harus pula seorang faqih, seperti halnya
pustakawan yang mengurus karya-karya al-Biruni atau al-Haitsam harus pula seorang
astronom atau matematikawan. Para pembaca dapat berkonsultasi tentang isi buku-buku itu
pada para pustakawan.
“Aneh, bahwa di Roma tidak ada seorang pun, yang memiliki pendidikan yang cukup, bahkan
sekadar untuk menjadi penjaga pintu perpustakaan itu,” keluh orang yang mestinya paling tahu,
yaitu: Gerbert de Aurillac, yang pada tahun 999 M menjadi Paus di Roma! Demikian Sigrid
Hunke dalam Allahs Sonne ueber dem Abendland.
Pada tahun tersebut, Abulkasis menyelesaikan ensiklopedi bedah. Al-Biruni menunjukkan
kejeniusan layaknya “Aristoteles-nya dari Arab”, dengan karya-karya tentang peredaran bumi
mengelilingi matahari. Al-Haitsam menulis prinsip-prinsip optika serta bereksperimen dengan
kamera obscura dan berbagai bentuk lensa dan cermin.
Pada tahun tersebut, saat dunia Islam sedang menikmati zaman keemasannya, dunia Barat
ketakutan akan segera datangnya hari kiamat. Anak lelaki Kaisar Otto III yang berusia dua
puluh tahun berziarah ke Roma dan berpidato dalam penuh suasana sakral, “Sekarang Kristus
akan segera datang untuk mengadili dunia dengan api, karena kedurjanaan sudah merajalela di
Roma”.
2 / 3
Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
Wednesday, 05 May 2010 15:24
Pada saat yang sama dan di usia yang sama, Ibnu Sina sedang memulai mengisi dunia dengan
karya-karya intelektualnya yang hebat.
Dua dunia yang sangat berbeda. Berawal dari pandangan hidup yang juga amat berbeda.
Masyarakat Islam dituntun oleh sabda Nabinya, yang antara lain berbunyi, “Barang siapa
meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu, dia seperti sedang pergi jihad
fisabilillah”, “Tinta seorang pembelajar adalah lebih mulia daripada darah seorang syuhada”,
dan “Ilmu itu ternak kaum Muslim yang hilang, maka di mana saja kamu dapatkan, ambillah,
sekalipun dari lisan seorang kafir”.
Sementara itu masyarakat Barat terpaku pada kata-kata Paulus, yang berbunyi, “Apakah Tuhan
tidak menyatakan bahwa pengetahuan dunia ini sebagai hal tercela?”. Satu-satunya sumber
kebenaran untuk kaum Nasrani adalah kitab suci. Karena itulah, meski Romawi mewarisi
banyak peradaban tua seperti Yunani ataupun Mesir, mereka lalu membuangnya sejak beralih
ke agama Nasrani. Perpustakaan Alexandria yang sangat tua dibakar habis. Andaikata tidak
ada kaum Muslim yang rajin memungut kembali ilmu pengetahuan Yunani, menerjemahkannya,
dan mengkoleksinya di perpustakaan-perpustakaan, barangkali kita sekarang ini tak pernah lagi
mengetahui tentang hukum hidrostatika Archimedes atau geometri Euklides.
Sementara itu orang-orang kaya seantero dunia khilafah menjadikan wakaf perpustakaan
sebagai salah satu cara menunjukkan identitas. Di Baghdad saja ada 200 perpustakaan pribadi
yang diwakafkan untuk umum. Dan tidak main-main, banyak yang mewakafkannya berikut
suatu aset produksi untuk membiayai operasional perpustakaan selamanya. Sayang, saat
serbuan tentara Mongol, nyaris seluruh perpustakaan itu dihancurkan, sampai air sungai Tigris
menjadi hitam warnanya.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ketika Perpustakaan Jadi Identitas"
Post a Comment